Review Novel “Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman” A. Mustafa

Mira Agustin
9 min readMar 4, 2023

--

Halo guys, ketemu lagi sama gua. Kali ini gua mau membicarakan sebuah novel dengan tema yang cukup rare, judulnya “Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman”. Novel ini ditulis oleh A. Mustafa, yang namanya ternyata pseudonim, dan memenangkan Juara 2 Sayembara Novel DKJ tahun 2018. Gua kasih disclaimer di awal, ya, kalau tulisan ini mengandung spoiler. Jadi tolong tutup tab tulisan ini jika kalian nggak mau di-spoiler-in.

Sampul Novel “Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman”

Anak Gembala

Novel ini bercerita tentang kehidupan Mbok Wilis, perempuan cantik yang ternyata waria pekerja seks komersial. Setting cerita utamanya ada di tahun 1980-an, kemudian ada flashback dan juga kisah tentang masa menuju sekarang. Kita dikasih plot yang loncat ke belakang dan ke depan, serta isi bab yang juga lompat-lompat. Terkadang kita dikasih kisah tentang Mbok Wilis, kadang tentang babi, dan kadang tentang Pak Wo.

Gua suka banget sama pembukaan novel Anak Gembala ini. Pernah dengar kalau kalimat pembuka adalah magnet cerita? Kalimat pembuka yang sekaligus dipasang jadi judul bab pertama Anak Gembala sukses bikin gua sebagai pembaca grasping, “Hah?”.

Kalimat itu bilang kalau pada tahun 1994, di hari Jumat siang, Mbok Wilis pakai sepatu tumit tinggi untuk ketemu nabi. Gua awalnya berpikir kalau Mbok Wilis itu tokoh perempuan, sampai muncul narasi lewat keterkejutan orang lain bahwa ternyata dia bukan perempuan. Gua nggak bakal lupa impresi pertama gua waktu baca itu.

Kemudian, soal ketemu nabi itu. Kita tahu bersama kalau nabi terakhir itu hidup 1400 tahun yang lalu. Jadi, nabi ini siapa? Dan kenapa dia ada di Simpang Lima?

Ya, latar utama cerita Mbok Wilis ada di kawasan sekitar Simpang Lima, Semarang. Kita akan di bawa pada bagaimana kehidupan malam para waria di sana, yang suka mejeng di Simpang Lima, depang SMA 1 Semarang, Bioskop Gajah Mada, dan tempat-tempat lain. Novel ini jadi sudut pandang yang baik untuk memberi pengetahuan dan gambaran tentang kaum yang termarjinalkan, waria. Yang mana kita tahu bahwa mereka tabu di Indonesia.

Membangun Konteks

Ada dua tokoh yang ngasih kita konteks di cerita ini kenapa laki-laki bisa suka sama laki-laki. Tokoh tersebut adalah Mbok Wilis dan salah satu berondongnya, Iwan. Lu bakal dikasih tahu apa yang menyebabkan seorang anak laki-laki menjadi berubah haluan, yang harusnya suka sama perempuan, tapi malah suka sama kaumnya sendiri.

Lewat Mbok Wilis dan Iwan, kita dikasih lihat kalau suatu orientasi bisa berubah karena di-nurture sama pola asuh yang salah dan ada juga yang timbul karena trauma. Yang satu sudah punya bibit itu sejak kecil karena dia punya sifat feminin dan semakin tumbuh oleh pengasuhan yang tidak sesuai (lebih tepatnya karena diasuh oleh orang yang salah), sedangkan yang satu lagi jadi serong orientasinya karena mendambakan sosok ayah yang baik.

Tentu kalau di kehidupan nyata sebabnya sangat beragam, tapi novel ini bisa menggambarkan dua sebab lewat dua tokoh itu dengan baik. Gua bukan orang yang terbiasa mengonsumsi Boy’s Love di film Thailand atau manga atau novel dengan tema seperti itu, jadi gua juga nggak punya pengetahuan mengapa seseorang punya hasrat seksual demikian. Maka dari itu, cerita ini memperluas sudut pandang gua, pemahaman gua tentang orientasi seksual.

Gua mau fokus di Mbok Wilis. Entah kenapa gua jadi berpikir, jika di masa kecil dia nggak diasuh oleh janda cabul yang membebaskan dia buat berlaku perempuan, apakah dia akan menjadi laki-laki normal, meskipun dengan sifat sedikit feminin? But, itulah yang terjadi. Bahkan kesadaran untuk menyukai laki-laki itu sudah ia mengerti sejak sekolah dasar. Sebuah backstory panjang yang menjelaskan awal mula timbulnya hal itu dan terus berlanjut ke pengalaman yang jauh.

Gua nggak mau terlalu banyak spoiler tentang ini lagi. Bagaimana kisah percintaan Mbok Wilis dengan laki laki dan bagaimana dia kemudian memutuskan buat menjadi pekerja seks komersial, lu bisa membacanya di novel ini.

Anak Gembala termasuk cerita yang bagus, terlebih setelah gua tahu kalau novel ini diangkat dari kisah nyata. Meskipun pasti ada bagian-bagian yang ditambah-tambahin atau didramatisir, tapi secara keseluruhan hal yang disampaikan novel ini adalah apa yang benar dialami seseorang yang menjadi tokoh utama. Gua merasa amat bersimpati sama yang dialami oleh Mbok Wilis ketika ada bagian yang menceritakan hubungannya dengan orang tuanya, ketika dia diperkosa tapi dia nggak bisa lapor polisi karena identitasnya sebagai waria — nggak ada yang bakal percaya kalau dia diperkosa, atau momen-momen ketika dia inget sama Tuhan. Banyak banget layer dan subteks yang bisa lu dapetin dari novel ini.

Gua juga ingin memuji penulis, A. Mustafa, yang secara pintar membuat bab-bab di novel ini loncat-loncat, mulai dari waktu, tema, dan tokoh. Lu akan dikasih jawaban tentang semua itu ketika lu terus membaca ke dalam. Mengapa ada cerita babi dan wayang, dan seorang yang bernama Pak Wo.

Babi, Sebuah Alegori

Menyambung apa yang gua bilang di awal bahwa bab-bab dalam novel ini dibuat lompat-lompat, ada satu tema bab yang menurut gua sangat menarik. Bab itu membahas tentang babi. Pertama kali baca gua bingung, kenapa isinya babi. Di belakang buku novel itu nggak dikasih sinopsis — yang gua rasa ini pilihan yang sangat tepat — dan gua tidak membaca review atau informasi di internet tentang novel ini. Gua beli Anak Gembala karena gua penasaran sama naskah cerita pemenang Sayembara Novel DKJ. Empat tahun setelah novel itu keluar, gua rasa nggak apa-apa untuk sedikit membahas tentang potongan cerita itu di sini.

Bab tentang babi di Anak Gembala adalah cara penulis buat menggambarkan secara implisit mengenai kehidupan Mbok Wilis. Cerita babi yang dibuat bersambung itu merupakan alegori kisah hidup Mbok Wilis. Behavior hewan itu jadi analogi atas tindakan dan pilihan yang diambil Mbok Wilis. Misalnya, ada kisah di mana babi akan selalu mencari lumpur kotor, padahal ada air sungai buat mandi. Di antara dua pilihan itu, kenapa dia nggak memilih untuk menceburkan diri di sungai yang bersih? Ya itu karena dia babi. Dia memilih tempat kotor itu karena dia babi, sesimpel itu. Hewan itu nggak punya pikiran atau rasa. Dia cuma dikaruniai naluri keinginan yang menuntunnya untuk itu.

Bab-bab tentang babi itu juga jadi petunjuk tentang hal-hal yang akan menimpa Mbok Wilis kemudian. Bagaimana Mbok Wilis jadi pekerja seks komersial sebelumnya dianalogikan secara halus oleh perilaku babi lumpur itu. Babi itu yang mulanya bertualang sendiri mencari lumpur kegirangan waktu menemukan kubangan yang berisi teman-teman babi. Dia merasa menemukan rumah. Di lumpur itu dia menguik-nguik, menjilat-jilat, dan kemudian kawin. Alegori itu kemudian semakin terasa personal ketika mendekati akhir. Anjir, dari yang mulanya realis menjadi surealis di akhir.

Waria dan Anggapan Masyarakat Sekitar

Menjadi waria adalah sebuah pilihan yang punya konsekuensi. Ada akibat dan harga tinggi yang harus dibayar. Kisah ini mengambil latar di tahun 1980-an dan 1990-an, yang mana waktu itu belum ada teknologi informasi seperti saat ini dan orang-orang masih asing dengan laki-laki yang suka sama laki-laki. Gua nggak bisa membayangkan seperti apa stigma di masyarakat dan bagaimana hal itu dipersepsikan. Maka dari itu, melihat fenomena itu melalui novel ini adalah sebuah pengalaman tersendiri.

Gua dikasih gambaran bagaimana Satpol PP dan dinas sosial yang memusuhi mereka, bagaimana Mbok Wilis hampir dibunuh sama orang alim, dan bagaimana sejumlah orang yang dengan tulusnya ingin supaya dia kembali ke kodratnya sebagai laki-laki. Tentu hubungan Mbok Wilis dengan orang tuanya adalah hal yang sangat menyentuh, gua menagis ketika membaca itu. Gua bisa membayangkan bagaimana perasaan orang tua, dan bagaimana sudut pandang Mbok Wilis sebagai anak.

Ada satu hal menarik yang pingin gua highlight tentang kehidupan waria dan masyarakat sekitar. Gua lupa itu ada di bab berapa, tapi ada cerita perayaan 17 Agustus-an di tahun 1988 yang diswadaya oleh para waria. Mungkin saat ini peran waria seperti itu bisa ditemui di sejumlah tempat tertentu. Namun, di tahun 1980-an belum ada SJW waria seperti sekarang, belum media sosial, dan karya-karya bertema Boy’s Love atau Girl’s Love belum gampang diakses seperti saat ini. Orang cuma punya sedikiti referensi atau paparan kepada orientasi seperti itu, yang kemudian menimbulkan prasangka. Maka dari itu, saat gua membaca adegan kolaborasi itu, ketika Mbok Wilis dan teman-teman warianya buat panggung, bikin lomba-lomba, dan warga sekitar ikut merayakan momen itu, mereka ikut menikmati dan tidak menghakimi, gua merasa hal itu adalah pemandangan yang adem.

Gua juga dikasih lihat sebuah kemunafikan. Bagaimana orang yang paling dekat dengan Mbok Wilis, yang menganggap diri sebagai kekasihnya, yang suka nyebongi dia, ternyata di saat bersamaan jadi orang yang paling punya kebencian sama dia. Kalau biasanya di cerita-cerita kita dikasih lihat tokoh yang jahat, maka Haris di novel ini bukan jahat lagi. Dia bajingan kontol. Sebuah tokoh yang bikin kita bertanya bagaimana kompas moral manusia jenis itu.

Lagi membicarakan Haris, gua jadi inget sama flaw Mbok Wilis yang gua nggak suka. Ketika dia udah tahu betapa bangsatnya Haris, dia nggak bisa tegas bikin boundaries untuk dirinya sendiri. Padahal dia sudah sumpah serapah mengeluarkan semua kebenciannya, tapi dia nggak kuasa menolak manusia itu dan tetap merelakan diri untuk disodok. Mungkin itu yang dimaksud sama toxic relationship.

Ketuhanan

Satu tema yang terlihat secara eksplisit terkandung novel ini adalah tentang ketuhanan. Momen-momen ketika Mbok Wilis mengingat dan memohon Tuhan dengan sungguh saat dia hampir diganyang Satpol PP, ketika hampir mati dibunuh pelanggannya, atau somehow ketika sadar kalau apa yang dilakukannya itu nggak benar, entah kenapa bikin gua sebagai pembaca tersentuh juga.

Ketika kita diperlihatkan hubungan dia sama temannya, Mety, yang beda iman, dan mereka merenung bersama mengingat Tuhan saat mangkal cari pelanggan, gua seperti melihat keindahan di tengah sesuatu yang berantakan. Gua merasa momen itu jauh lebih menyentuh ketika diucapkan dengan tulus oleh orang-orang seperti mereka, daripada ketika gua menemukan itu di narasi yang diucapkan oleh tokoh yang baik-baik saja.

Momen ketuhanan itu terasa kental saat novel ini memberikan penceritaan mengenai Ahmadiyah. Kita tahu bahwa Ahmadiyah adalah ranting kecil dari Islam, aliran yang dianggap tidak benar oleh pemeluk Islam arus utama. Sekali lagi, kita dikasih lihat sisi-sisi yang nggak banyak orang tahu.

Ahmadiyah, I don’t know about this denomination at all. Yet, this novel gives me clear depiction about it, how people’s stigma and perception about it, and at some points how beautiful miracle works through it, whom always claimed wrong by the majority

Ya, novel ini ngasih lihat bagaimana pandangan sejumlah orang tentang Ahmadiyah. Gua menyaksikan sebuah kebebalan, arogansi, dan main hakim sendiri yang dilakukan justru oleh orang-orang yang menganggap dirinya benar. Gua adalah bagian dari mayoritas tersebut dan gua merasa malu melihat itu.

Pada Akhirnya

Dengan tema sosialnya, nggak heran novel ini jadi Pemenang II Sayembara DKJ. Semakin dalam gua membaca, gua merasa apa yang ditulis oleh A. Mustafa seolah mencolek nurani gua, standar kemanusiaan gua, apa yang selama ini gua pahami sebagai benar dan salah. Gua seolah dilempar pertanyaan, “Hayo, kalau begini kira-kira menurutmu gimana? Apa pikiranmu? Apa kamu akan menghakimi?”

Agak membahas hal yang lain, gua ingin memberikan sedikit disclaimer kalau mungkin bagi kalian yang nggak terbiasa dengan adegan NSFW akan risih dengan awal-awal novel, tapi bagian itu nggak sering ditemui dan kebanyakan memang berhubungan dengan alur cerita dan emosi pembaca.

Kemudian, pace cerita di novel ini mengalir dengan sesuai, nggak terlalu lambat atau terlalu cepat. Cuma, ada satu bagian gua rasa bikin pace jadi amat ambat, yakni ketika penulis menceritakan kesan Mbok Wilis kecil terhadap peristiwa 1965. Peristiwa itu diceritakan terlalu detail, yang sebenarnya malah berfokus pada teman-teman dan tetangganya yang kena dampak, padahal itu nggak bersinggungan sama tema ataupun keputusan Mbok Wilis.

Catatan gua yang lain adalah gua beberapa kali merasa penulis lebih ke telling dari pada showing. Itu gua rasakan di bagian-bagian tertentu. Mungkin ini memang gaya sang penulis karena memang setiap penulis punya cara bertutur masing-masing. Atau, mungkin itu terjadi tanpa sadar karena dia punya tugas untuk menuliskan banyak kisah di novel ini sementara kejadian itu melintang di kurun waktu yang panjang.

Terlepas dari itu, gua ingin memuji pilihan penulis dalam mainin setting waktu, membuat cerita tidak urut kronologis, dan hal itu membuat gua menebak-nebak gua dikasih apa, nih, selanjutnya. Di bab-bab akhir gua terkesima saat dia menceritakan masa kini, kemudian ke masa lalu dengan luwes, dan di dalam cerita masa lalu itu dia mengisahkan kejadian di waktu yang lebih lama lagi. Jadi, ada tiga layer waktu dalam satu penceritaan. Gua sampai mengecek lagi ke halaman depan, dan gua merasa seperti nonton film.

Anjir, gua spoiler-nya banyak banget, ya. Gua rekomendasikan kalian untuk membaca sendiri buku ini dan galilah layer-layer tersembunyi di dalamnya. Novel ini memberikan gua pengalaman dan membuat gua introspeksi. Sebuah bacaan yang bisa untuk mengisi waktu kalian sekaligus mendapat sebuah pembelajaran.

Thank you, see you next time~

--

--

No responses yet